BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Esensial
Perundang-Undangan merupakan hakikat atau hal yang pokok dari suatu
Perundnag-Undangan atau Peraturan Perundang-Undangan.
Peraturan perundang-undangan sudah menjadi suatu asas
hukum atau asas pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi suatu norma
hukum. Sebagai suatu norma hukum hal tersebut akan berakibat adanya suatu
sanksi apabila asas tersebut tidak terpenuhi atau tidak dilaksanakan.
Maka, ketika pihak yang berwenang akan membuat suatu
Peraturan Perundang-Undangan, maka ia harus mengerti bagian-bagian esensial
dari Perundang-Undangan tersebut.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Makalah
ini akan membahas permasalahan-permasalahan berikut ini:
1.
Bagian-Bagian esensial dari suatu Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia,
2. Menjelaskan
bagian-bagian esensial tersebut berikut contohnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Bagian-bagian
esensial yang terdapat dalam perundang-undangan adalah sebagai berikut:
A.
Penamaan
Penamaan atau yang biasa disebut dengan judul
dalam suatu kerangka perundang-undangan adalah uraian singkat tentang isi
peraturan perundang-undangan yang didahului dengan penyebutan jenis, nomor dan
tahun pembentukannya, serta kalimat singkat yang mencerminkan isi peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan[1]
Penamaan ini selalu ada di setiap peraturan
perundang-undangan dan setiap rancangan peraturan perundang-undangan. Biasanya
terdiri dari keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengesahan, penetapan,
atau pengundangan, dan nama resmi undang-undang yang bersangkutan yang
keseluruhan ditulis huruf besar (kapital). Pada rancangan peraturan
perundang-undangan, nomor dan tahun pembentukannya tidak dituliskan,
Dalam
praktik di berbagai negara, judul undang-undang kadang-kadang terdiri atas
judul panjang (long title) dan judul singkat (short title).
Akan
tetapi, dalam praktik di Indonesia sejak dulu, biasanya judul undang-undang
hanya dibuat pendek. Yang penting judul tersebut mencerminkan substansi
undang-undang bersangkutan[2]
Ø Contoh
penamaan pada peraturan perundang-undangan pada umumnya:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Ø
Contoh penamaan pada peraturan perundang-undangan
apabila terdapat suatu perubahan:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 2000
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR
45 TAHUN 2000
TENTANG PEMBENTUKAN IRIAN JAYA
TENGAH, IRIAN JAYA BARAT, KABUPATEN
PANIAI, KABUPATEN MIMIKA, KABUPATEN
PUNCAK JAYA, DAN KOTA SORONG
Ø Contoh
penamaan pada rancangan peraturan perundang-undangan:
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …
TAHUN …
TENTANG
PERLINDUNGAN
KONSUMEN
Judul-judul
undang-undang ini sangat penting karena menggambarkan isi norma yang diatur di
dalamnya.
Panjangnya
judul undang-undang dan peraturanperaturan itu dinilai penting oleh para ahli
karena dapat:
(i)
menggambarkan
keseluruhan isi undang-undang beserta batas-batasnya (a pointer to the
subject-matter of the Act and gives an immediate clue what the statute
is all about),
(ii)
berfungsi
sebagai pedoman dalam memberikan makna atas teks undang-undang (a useful
guide in resolving an ambiguity in the Act but will not limit the
plain meaning of the text of the Act).
Oleh
karena itu, adalah sah pula untuk menggunakan judul yang panjang dalam rangka
memahami lingkup keseluruhan materi ataupun dalam rangka menafsirkan sesuatu
materi undang- undang atau peraturan perundang-undangan yang bersangkutan[3]
B. Pembukaan
Pada
pokoknya pembukaan itu adalah merupakan kalimat pengantar dimana objek, maksud
dan tujuan undang-undang yang bersangkutan dibentuk diuraikan[4].
Biasanya, pembukaan digunakan dalam 4 bidang legislatif, yakni:
(i)
Apabila
materi pokok undang-undang tergolong penting secara konstitusional (constitutional
importance) atau dari segi internasional dianggap penting (where the
subject-matter of the legislation is of constitutional or international
importance);
(ii)
Apabila
undang-undang yang bersangkutan bersifat formal atau bersifat seremonial untuk
menandai sesuatu peristiwa atau kejadian-kejadian yang khusus-khusus dan
bersejarah (where the legislation is of a formal or ceremonial
character, intented to mark a noteworthy event such as the death of a
statesman, a royal visit or the anniversary of an historic occasion);
(iii) Apabila
undang-undang yang bersangkutan bersifat privat atau seperti privaat atau pun
bersifat “local enactment” untuk mengatasi sesuatu kompleksitas
permasalahan yang bersifat lokal (where the legislation is or is akin
to a private or local enactment, being intended to remedy an exceptional
local problem of such complexity that an explanatory preambule is
necessary to an understanding of the Act); dan
(iv) Apabila
tujuan pembentukan undang-undang itu dimaksudkan untuk meratifikasi atau
memberikan persetujuan atas suatu persetujuan atau perjanjian (where the
purpose of the legislation is to ratify or otherwise approve an agreement
entered into or intended to be entered into by the Government)[5]
Selain
pembukaan dalam arti formal, sesungguhnya, semua judul, yakni berupa judul
undang-undang, judul bab, judul bagian, dan/atau judul pasal juga mempunyai
fungsi sebagai pembuka rumusan normatif ketentuan-ketentuan yang terkandung
dalam butirbutir kalimat yang dirumuskan.
Pembukaan suatu perundang-undangan
terdiri atas:
a.
Lembaga
yang membentuk
Lembaga yang membentuk adalah lembaga negara
atau lembaga pemerintah yang berwenang membentuk, mengesahkan, atau menetapkan
peraturan perundang-undangan.
Contoh:
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA.
Lembaga pemerintah yang berwenang ini
dituliskan dalam bentuk huruf besar semua (kapital)[6].
b.
Konsiderans
Konsiderans merupakan alasan-alasan atau
pertimbangan-pertimbangan mengapa peraturan perundang-undangan tersebut perlu
dibentuk. Dalam konsideran dimuat hal-hal atau pokok-pokok pikiran yang
merupakan konstatasi fakta-fakta secara singkat dan yang menggerakkan pembentuk
peraturan perundang-undangan untuk
membentuk perundang-undangan tersebut. Konsideran suatu peraturan
perundang-undangan dituliskan dengan “Menimbang”. Apabila konsiderans terdiri
dari beberapa pertimbangan, maka tiap-tiap pertimbangannya ditulis huruf kecil
a, b, c, dan seterusnya serta diakhiri dengan baca titi koma (;)[7].
Konsideran
yang terdapat dalam setiap undang-undang, pada pokoknya, berkaitan dengan 5
(lima) landasan pokok bagi berlakunya norma-norma yang terkandung di dalam
undang-undang tersebut bagi subjek-subjek hukum yang diatur oleh undang-undang
itu. Seperti sudah diuraikan pada bagian lain dari buku ini, bagi setiap norma
hukum yang baik selalu dipersyaratkan adanya 5 (lima) landasan keberlakuan.
Kelima landasan dimaksud adalah landasan yang bersifat filosofis, sosiologis,
politis, dan landasan juridis88, serta landasan yang bersifat administratif.
Empat landasan pertama, yaitu landasan filosofis, sosiologis, politis, dan
juridis bersifat mutlak, sedangkan satu landasan terakhir, yaitu landasan
administratif dapat bersifat fakultatif. Mutlak, artinya, harus selalu ada
dalam setiap undang-undang. Sedangkan landasan administratif tidak mutlak harus
selalu ada[8].
1)
Landasan
filosofis
Dalam konteks kehidupan bernegara, Pancasila
sebagai falsafah haruslah tercermin dalam pertimbangan-pertimbangan filosofis
yang terkandung di dalam setiap undang-undang. Undang-undang Republik Indonesia
tidak boleh melandasi diri berdasarkan falsafah hidup bangsa dan negara lain.
Artinya, Pancasila itulah yang menjadi landasan filosofis semua produk
undang-undang Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945,
2)
Landasan
sosiologis
Maksud dari landasan sosiologis ini adalah
setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang-undang haruslah mencerminkan
tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan
realitas kesadaran hukum masyarakat. Gagasan normatif yang dituangkan di dalam
perundang-undangan harus sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam kesadaran
hukum masyarakat sehingga kelak undang-undang tersebut dapat dilaksanakan
dengan baik di tengah-tengah masayarakat,
3)
Landasan
politis
Yang dimaksud dengan landasan politis dalam hal
ini adalah bahwa dalam konsideran harus pula tergambar adanya sistem rujukan
konstitusional menurut cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD 1945
sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi
pembentukan undang-undang yang bersangkutan, baik yang tertulis maupun yang
hidup dalam konvensi ketatanegaraan dari waktu ke waktu,
4)
Landasar
juridis
Landasan juridis dalam perumusan setiap
undang-undang haruslah ditempatkan pada bagian Konsideran “Mengingat”. Dalam
konsideran mengingat ini harus disusun secara rinci dan tepat. Biasanya,
penyebutan undang-undang dalam rangka Konsideran “Mengingat” ini tidak disertai
dengan penyebutan nomor pasal ataupun ayat. Penyebutan pasal dan ayat hanya
berlaku untuk penyebutan undang-undang dasar saja.
Misalnya, mengingat Undang-Undang No. 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Artinya, undang-undang itu dijadikan dasar
juridis dalam konsideran mengingat itu sebagai suatu kesatuan sistem norma,
5)
Landasan
administratif
Pembentuk undang-undang tidak menganggap perlu
mencantumkan landasan yang bersifat administratif tersebut dalam konsideran
secara formal karena dianggap sudah dengan sendirinya telah mendapat perhatian
sebagaimana mestinya[9].
c.
Dasar
hukum
Dasar hukum suatu peraturan perundang-undangan
merupakan suatu landasan yang bersifat yuridis bagi pembentukan peraturan
perundang-undangan tersebut.
Dasar hukum suatu peraturan perundang-undangan
dapat terdiri atas hal-hal sebagai berikut:
Ø Peraturan
atau norma huum yang memberikan kewenangan bagi terbentuknya peraturan
perundnag-undangan tersebut, yaitu ketentuan-etentuan dalam UUD 1945.
Contoh:
Pasal 5 ayat (1) yo. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945
bagi pembentukan undang-undang,
Ø Peraturan
perundang-undangan lainnya yang setingkat dan erat kaitannya dengan peraturan
perundnag-undangan yang dibentuk,
Ø Ketetapan
MPR dapat dipakai sebagai dasar hukum apabila memiliki kaitan yang erat dengan
peraturan perundang-undangan yang dibentuk, yakni apabila disebutkan secara
tegas tentang pentingnya peraturan perundang-undangan yang akan dibuat
tersebut,
Ø Dasar
hukum ini dirumusan secara kronologis sesuai dengan hierarki peraturan
perundang-undangan,
Ø Dasar
hukum pembentukan peraturan perundnag-undangan ini dituliskan dengan
“Mengingat”. Apabila dasar hukum itu lebih dari satu, maka tiap peraturan yang
mendasari itu ditulis dengan urutan angka 1, 2, 3, dasn seterusnya serta
diakhiri dengan tanda baca titik koma (;)[10].
d.
Memutuskan
Kata
Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di antara suku
kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di tengah
marjin.
Pada
Peraturan Daerah, sebelum kata Memutuskan dicantumkan frase Dengan Persetujuan
Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH ... (nama daerah) dan
GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA ... (nama daerah), yang ditulis seluruhnya dengan
huruf kapital dan diletakkan di tengah marjin[11].
Contoh:
Peraturan
Daerah Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
... (nama daerah)
dan
GUBERNUR ... (nama daerah)
MEMUTUSKAN:
e.
Menetapkan
Kata “Menetapkan” dicantumkan sesudah kata
“Memutuskan” yang disejajarkan ke bawah dengan kata “Menimbang dan Mengingat”.
Huruf awal kata “Menetapkan” ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan
tanda baca titik dua. Nama yang tercantum dalam judul Peraturan Perundang-undangan
dicantumkan lagi setelah kata “Menetapkan” dan didahului dengan percantuman
jenis Peraturan Perundang-undangan tanpa frase Republik Indonesia, serta
ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik[12].
Contoh:
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG
TENTANG
PERIMBANGAN K E U A N G A N A N T A R A PEMERINTAH PUSAT DAN D A E R A H
f.
Judul peraturan
perundang-undangan
Judul suatu peraturan perundang-undangan adalah
kalimat yang diletakan sesudah perkataan “MEMUTUSKAN: Menetapkan:”
Contoh:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.
Judul peraturan perundang-undangan ditulis
dengan huruf besar (kapital), dan untuk lebih memudahkan pencarian, judul
peraturan perundang-undangan juga dituliskan dalam “Penamaan”
Beberapa ketentuan:
·
Khusus
bagi suatu Undang-Undang, sebelum penulisan lembaga yang membentuk, bagian
Pembukaannya akan dimulai dengan kalimat yang berbunyi:
“DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA”
·
Dalam
Pembukaan suatu Undang-undang, setelah penulisan dasar hukum “Mengingat” akan
dituliskan kalimat sebagai berikut:
Dengan
Persetujuan
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
·
Bagi
peraturan perundang-undangan lainnya, kedua ketentuan di atas tidak berlaku[13].
C. Batang
Tubuh
Batang
tubuh suatu peraturan perundang-undangan biasanya dirumuskan dalam pasal-pasal,
oleh karena itu, pasal merupakan suatu acauan dalam peraturan
perundnag-undangan.
Apabila
suatu peraturan perundnagan-undangan itu terlalu luas, maka pasal-pasal
tersebut dapat dikelompokkan dalam BAB-BAB, apabila BAB ini terlalu luas pula,
maka dapat dibagi ke dalam Paragraf, akan tetapi pembagian ini tak harus dilakukan.
Suatu pasal dapat dibagi dalam ayat-ayat, sebaiknya satu ayat hanya mengatur
satu hal saja dan sedapat mungkin dirumuskan dalam satu kalimat. Penulisan
suatu pasal yang pendek lebih baik dari pada penulisan suatu pasal yang terdiri
atas banyak ayat, kecuali bila materi dalam ayat tersebut merupakan suatu
kesatuan[14]
Dengan demikian, struktur isi
undang-undang dapat pula tersusun sebagai berikut:
Bagian
Pertama (judul)
Bab I
(judul)
Pasal 1
Ayat (1)
Huruf a
(i)
(ii)
Bab II
(judul)
Pasal 20
Ayat (1)
Ayat (2)
Huruf a
Huruf b
(i)
(ii)
Bagian
Kedua (judul)
Bab VI
(judul)
Pasal 40
Ayat (1)
Huruf a
(i)
(ii)[15]
Batang
tubuh suatu peraturan perundang-undangan dapat disusun sebagai berikut:
1. Ketentuan
Umum
Ketentuan Umum suatu peraturan
perundnag-undangan diletakkan pada Bab yang pertama atau dalam pasal-pasal
pertama apabila peraturan perundang-undangan tersebut tidak diadakan
pengelompokan.
Isi yang terkandung di dalam Ketentuan
Umum tidak hanya terbatas kepada
pengertian-pengertian operasional istilah-istilah yang dipakai seperti yang
biasa dipraktikkan selama ini, namun seharusnya termuat pula hal-hal lain yang
bersifat umum, seperti pengantar, pembukaan, atau “preambule”
undang-undang. Akan tetapi, telah menjadi kelaziman atau kebiasaan sejak dulu
bahwa setiap undang-undang selalu didahului oleh “Ketentuan Umum” yang
berisi pengertian atas istilah-istilah yang dipakai dalam undang- undang yang
bersangkutan[16].
Fungsi dari Ketentuan Umum ini mirip seperti “Definition
Clause” di negara lain.
Adanya Ketentuan Umum ini dirasa sangat penting
sebagai alat perlengkapan bagi Perancang undang-undang.
Urutan penempatan Ketentuan Umum adalah sebagai
berikut:
a.
Pengertian
yang memiliki lingkup umum diletakkan terlebih dahulu dari pada yang memiliki
lingkup khusus,
b.
Materi
yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan di
dalam urutan lebih dahulu,
c.
Pengertian
yang memiliki kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan berdekatan secara
berurutan[17].
2. Ketentuan
Materi yang Diatur
Kelompok ini ditulis setelah Ketentuan Umum.
Ketentuan Materi yang Diatur tersebut pembagiannya tergantung pada luas atau
tidaknya materi masing-masing peraturan perundang-undangan. Apabila dalam
Ketentuan Umum tidak ada pengelompokan Bab, maka Ketentuan Materi yang Diatur
diletakkan setelah pasal Ketentuan Umum.
Contoh:
a.
Pembagian
berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi, seperti pembagian dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana:
(1)
Kejahatan
terhadap keamanan negara;
(2)
Kejahatan
terhadap martabat presiden;
(3)
Kejahatan
terhadap negara sahabat dan wakilnya;
(4)
Kejahatan
terhadap kewajiban dan hak kenegaraan;
(5)
Kejahatan
terhadap ketertiban umum dan seterusnya.
b.
Pembagian
berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam hukum acara pidana,
dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan
kembali.
c.
Pembagian
berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan
Jaksa Agung Muda[18]
3. Ketentuan
Pidana
Ketentuan Pidana ini merupakan ketentuan yang
tidak mutlak ada dalam peraturan perundang-undangan. Kadang-kadang ketentuan
pidana ini diperlukan, tetapi kadang-kadang hal ini tidak diperlukan bagi suatu
peraturan perundang-undangan[19].
Letak Penempatan Ketentuan Pidana ada sebelum
Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup. Jika Bab Ketentuan Peralihan tidak
ada, maka penempatannya ada sebelum Bab Ketentuan Penutup. Jika di dalam
Peraturan Perundang-undangan tidak diatur berdasarkan Bab-Bab, maka Ketentuan
Pidana ditempatkan dalam pasal langsung sebelum pasal Ketentuan Peralihan, jika
tidak ada pasal yang berisi Ketentuan Peralihan, maka diletakkan sebelum pasal
yang berisi tentang Ketentuan Penutup.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Ketentuan
Pidana antara lain sebagai berikut:
1.
Dalam
merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana
yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena
ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana
menurut Peraturan Perundangundangan lain, kecuali jika oleh Undang-Undang
ditentukan lain (Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)[20].
2.
Ketentuan
Pidana hanya dirumuskan di dalam Undang-Undang dan dalam Peraturan Pemeritah
berdasarkan suatu Undang-Undang,
3.
Dirumuskan
dengan jelas, tegas, dan cermat. Karena Ketentuan Pidana ini berkaitan erat
dengan kepastian hukum bagi seseorang. Dalam hal ini, sanksi pidana harus jelas
perumusannya. Entah itu bersifat Kumulatif, Alternatif, atau bahkan keduanya.
Contoh:
Kumulatif :
… dikenakan pidana … dan denda …
Alternatif :
… dikenakan pidana … atau denda …
Keduanya :
… dikenakan pidana … dan/atau denda …[21]
Rumusan Ketentuan Pidana harus menyebutkan
secara tegas norma larangan atau perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal
yang memuat norma tersebut. Maka perlu sekiranya untuk menghindari:
a.
Pengacuan
pada ketentuan pidana Peraturan Perundang-Undangan lain,
b.
Mengacu
pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, jika unsur atau elemen norma yang diacu
tidak sama,
c.
Penyusunan
rumusan sendiri yang berbeda atau tidak terdapat pada norma-norma yang diatur
dalam norma-norma sebelumnya, kecuali untuk Undang-Undang Tindak Pidana Khusus[22].
Bagi tindak pidana yang dilakukan oleh suatu
badan hukum, perseroan, yayasan, atau suatu perserikatan lainnya, harus
dijelaskan apakah sanksi pidana tersebut diberikan pada:
a.
Badan
hukum perseroan, yayasan, atau perserikatan tersebut, atau
b.
Mereka
yang memberi perintah melakukan tindak pidana itu, atau yang bertindak sebagai
pimpinan dalam perbuatan atau kelalaian, atau
c.
Kedua-duanya[23]
Jika
ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari ketentuan pidana dirumuskan
dengan frase setiap orang.
Jika
ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek tertentu, subyek itu dirumuskan
secara tegas, misalnya, orang asing, pegawai negeri, saksi[24].
4.
Ketentuan
Peralihan
Ketentuan
Peralihan adalah ketentuan yang berisi norma peralihan yang berfungsi mengatasi
kemungkinan terjadinya kekosongan hukum sebagai akibat peralihan normatif dari
ketentuan lama ke ketentuan baru[25].
Ketentuan peralihan dimuat dalam bab ketentuan
peralihan dan ditempatkan di antara bab ketentuan pidana dan bab Ketentuan
Penutup. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak diadakan pengelompokan
bab, pasal yang memuat ketentuan peralihan ditempatkan sebelum pasal yang
memuat ketentuan penutup[26].
Secara
garis besar, Ketentuan Peralihan meliputi:
a. Ketentuan-ketentuan
tentang penerapan Peraturan Perundang-undangan baru terhadap keadaan yang
terdapat pada waktu Peraturan Perundang-undangan yang baru ini mulai berlaku;
b. Ketentuan-ketentuan
tentang pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan baru itu secara
berangsur-angsur;
c. Ketentuan-ketentuan
tentang penyimpangan untuk sementara waktu dari Peraturan Perundang-undangan
baru itu, ketentuan penyimpangan ini juga berlaku juga bagi ketentuan yang
diberlakusurutkan;
d. Ketentuan-ketentuan
tentang aturan khusus bagi keadaan atau hubungan yang sudah ada pada saat mulai
berlakunya Peraturan Perundang-undangan baru itu.
Ketentuan Peralihan pada huruf a di atas
sifatnya tetap, sedangkan ketentuan-ketentuan dalam huruf b, c, dan d sifatnya
sementara. Ketentuan Peralihan ini terkadang diperlukan, tapi terkadang juga
tidak diperlukan dalam suatu Peraturan Perundang-undangan[27].
5.
Ketentuan
Penutup
Ketentuan Penutup merupakan bagian terakhir
Batang Tubuh suatu Peraturan Perundang-Undangan, yang biasanya berisi
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a.
Penunjukan
organ atau alat perlengkapan yang diikutsertakan dalam melaksanakan Peraturan
Perundang-Undangan berupa:
1)
Pelaksanaan
sesuatu yang bersifat menjalankan (eksekutif),
2)
Pelaksanaan
sesuatu yang bersifat mengatur (legislatif),
b.
Ketentuan
tentang pemberian nama singkat (citeer titel) atau judul kutipan pada suatu
Peraturan Perundang-Undangan yang bersangkutan.
Hal ini diperlukan apabila judul Peraturan
Perundang-Undangan tersebut terlalu panjang.
Contoh:
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosiste,nya, dalam Ketentuan Penutupnya
diberikan suatu judul kutipan yang dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 44
“Undang-undang
ini dapat disebut Undang-undang Konservasi Hayati”
c.
Ketentuan
tentang saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan,
Ketentuan berlakunya suatu Peraturan Perundang-Undangan dapat melalui cara-cara
sebagai berikut:
1)
Bila
tidak ditentukan lain, Peraturan Perundang-Undangan mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
2)
Dapat
ditentukan oleh Peraturan Perundang-Undangan itu sendiri.
3)
Ketentuan
tentang pengaruh Peraturan Perundang-Undangan yang baru terhadap Peraturan
Perundang-Undangan yang lain[28]
Ketentuan Penutup berbeda dari Kalimat Penutup.
Dalam undang-undang, yang biasanya dirumuskan sebagai Ketentuan Penutup adalah
ketentuan yang berkenaan dengan pernyataan mulai berlakunya undangundang atau
mulai pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang.
Contoh:
Ketentuan
Penutup dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dirumuskan dalam
Bab VIII Pasal 88 yang berbunyi, “Undang-undang ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan”. Sedangkan dalam UU No. 10 Tahun 2004, Ketentuan
Penutup dirumuskan dalam Bab XIII yang terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 56,
57, dan 58[29].
D. Penutup
Penutup
merupakan bagian akhir dari suatu Peraturan Perundang-Undangan. Penutup ini
memuat hal-hal sebagai berikut:
a.
Rumusan
perintah pengundangan yang berbunyi:
“Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia”.
b.
Keterangan
tentang tanggal pengesahan atau penetapan dan penandatanganan pejabat[30].
Biasanya memuat:
1)
Tempat
dan tanggal pengesahan atau penetapan;
2)
Nama
jabatan;
3)
Tanda
tangan pejabat, dan
4)
Nama
lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan pangkat[31].
Sesudah Penutup,
dicantumkan pula keterangan tentang pengundangan dan keterangan tentang Lembaga
Negara yang mengundangkan Peraturan Perundang-Undangan tersebut. Untuk
undang-undang, maka pejabat yang mengesahkan adalah Presiden Republik
Indonesia, sedangkan pejabat yang mengundangkan adalah menteri yang ditugasi
untuk itu. Sekarang, menteri yang mengundangkan peraturan perundang-undangan
adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
BAB III
KESIMPULAN
Yang
menjadi esensial dalam suatu Peraturan Perundang-Undangan atau
Perundang-Undangan meliputi:
1. Penamaan
Bisa
juga disebut sebagai “Judul” yang merupakan uraian singkat tentang isi
peraturan perundang-undangan yang didahului dengan penyebutan jenis, nomor dan
tahun pembentukannya, serta kalimat singkat yang mencerminkan isi peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan.
2. Pembukaan
Merupakan
kalimat pengantar dimana objek, maksud dan tujuan undang-undang yang
bersangkutan dibentuk diuraikan. Biasanya digunakan dalam empat bidang
legislatif. Terdiri atas; lembaga yang membentuk, konsiderans, dasar hukum,
memutuskan, menetapkan, judul peraturan perundang-undangan.
3. Batang
Tubuh
Biasanya
dirumuskan dalam pasal-pasal dengan susunan; Ketentuan umum, ketentuan materi
yang diatur, ketentuan pidana, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
4. Penutup
Berbeda
dengan “Ketentuan Penutup”, penutup yang merupakan bagian paling akhir dalam
suatu perundang-undangan ini berisi tentang; Rumusan perintah pengundangan,
keterangan tentang tanggal pengesahan atau penetapan dan penandatanganan
pejabat.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Maria Farida Indrati
Soeprapto, S.H., M.H., Ilmu Perundang-Undangan, Jakarta; Kanisius, 1998
·
DR. Titik Triwulan Tutik,
S.H., M.H., Perihal Undang-undang dan Norma
·
DR. Titik Triwulan Tutik,
S.H., M.H., Teknik Penyusunan Perundang-Undangan
[1]
Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., Ilmu Perundang-Undangan, (Jakarta;
Kanisius, 1998) hal.158
[2]
DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Perihal Undang-undang dan Norma, hal.161
[3]
Idiom, hal.166-167
[4]
Idiom, hal.167
[5]
Idiom, hal.168
[6]
Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., Ilmu Perundang-Undangan, (Jakarta;
Kanisius, 1998) hal.159
[7]
Idiom, hal.159-160
[8]
DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Perihal Undang-undang dan Norma,
hal.169-170
[9]
Idiom, hal.170-174
[10] Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H.,
Ilmu Perundang-Undangan, (Jakarta; Kanisius, 1998) hal.160-161
[11]
DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Teknik Penyusunan Perundang-Undangan,
hal.16
[12]
Idiom, hal.17
[13]
Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., Ilmu Perundang-Undangan, (Jakarta;
Kanisius, 1998) hal.161
[14]
Idiom, hal.162-163
[15]
DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Perihal Undang-undang dan Norma, hal.178
[16]
Idiom, hal.179
[17]
DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Teknik Penyusunan Perundang-Undangan,
hal.36
[18]
Idiom, hal.37
[19]
Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., Ilmu Perundang-Undangan, (Jakarta;
Kanisius, 1998) hal.163
[20]
DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Teknik Penyusunan Perundang-Undangan,
hal.39
[21]
Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., Ilmu Perundang-Undangan, (Jakarta;
Kanisius, 1998) hal.164
[22]
DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Teknik Penyusunan Perundang-Undangan,
hal.41
[23]
Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., Ilmu Perundang-Undangan, (Jakarta;
Kanisius, 1998) hal.164
[24]
DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Teknik Penyusunan Perundang-Undangan,
hal.42
[25]
DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Perihal Undang-undang dan Norma, hal.187
[26]
DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Teknik Penyusunan Perundang-Undangan,
hal.43
[27]
Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., Ilmu Perundang-Undangan, (Jakarta;
Kanisius, 1998) hal.165
[28]
Idiom, hal.165-167
[29]
DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Perihal Undang-undang dan Norma, hal.190
[30]
Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., Ilmu Perundang-Undangan, (Jakarta;
Kanisius, 1998) hal.167
[31]
DR. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Teknik Penyusunan Perundang-Undangan,
hal.58
CATATAN:
Saya hanya sebagian kecil dari Mahasiswi yang menunaikan kewajiban saya untuk mengerjakan tugas, salah satunya adalah tugas ini. Jadi, apabila ada kesalahan mohon dimaafkan karena keterbatasan referensi yang saya punya. ARIGATO GOZAIMASU... ^_^
0 komentar:
Posting Komentar